Selasa, 20 Januari 2009

Obama dan Impian Demokrasi



Oleh Victor Silaen

 Investor Daily, 17-18 Januari 2009

    Tanggal 20 Januari mendatang niscaya menjadi hari paling bersejarah dalam hidup Barack Obama, karena saat itu ia secara resmi dilantik menjadi Presiden ke-44 Amerika Serikat (AS). Bagi AS sendiri, saat itu juga niscaya menjadi hari bersejarah karena Obama akan tercatat sebagai presiden pertama yang berkulit hitam – bukan dari golongan dominant White Anglo Saxon Protestant (WASP). Tak heran jika terbetik kabar bahwa tak kurang dari 5.000 lembar tiket berharga sangat mahal, untuk dapat menyaksikan Parade Inagurasi Kepresidenan, sudah habis terjual.

 

    Dunia pun tak kurang antusiasnya memonitor apa yang bakal berlangsung pada 20 Januari nanti, dan apa yang akan dikatakan Obama dalam pidato pelantikannya nanti. Kita teringat pada pernyataan ilmuwan politik terkemuka AS, Samuel Huntington (1997): “Dunia tanpa dominasi AS akan menjadi sebuah dunia yang banyak diisi dengan kekacauan dan kesemrawutan serta akan lebih tidak demokratis dan tidak memiliki pertumbuhan ekonomi yang memuaskan dibandingkan dengan sebuah dunia di mana Amerika Serikat memiliki pengaruh yang kuat dari negara manapun dalam menyelesaikan masalah-masalah global.”

 

     Setuju atau tidak setuju dengan pernyataan itu, suka atau tidak suka dengan AS, yang jelas pengaruh AS di arena internasional memang amat besar. Salah satu penyebabnya, karena AS kerap disebut sebagai kampiun demokrasi. Bukan karena kesempurnaan demokrasi yang dijalankannya selama ini, melainkan karena AS tercatat sebagai negara pertama di dunia yang berbentuk republik dan negara pertama pula yang memisahkan relasi antara negara dan agama, pada 1776.

 

     Dikarenakan pemisahan hubungan negara-agama itu, apakah seiring waktu AS berkembang menjadi bangsa yang tidak religius? Tidak. Faktanya, sejak dulu hingga kini AS tetaplah bangsa yang meninggikan Tuhan dan berpedoman pada nilai-nilai agama di dalam kehidupannya. Buktinya, antara lain, di dalam mata uang mereka tertulis kata-kata “In God We Trust”, dan tetap begitu sampai sekarang sekalipun di sisi lain mereka juga cenderung kapitalistik. 

 

     “AS memang bangsa yang paradoks,” tulis Michael Kammen, pemenang Pulitzer Prize, dalam People of Paradox, An Inquiry Concerning The Origins of American Civilization (1972) yang ditulisnya. Kammen, dalam buku itu, dinilai mampu menyibak asal-muasal terbentuknya AS menja di bangsa yang memiliki sejumlah karakter nasional yang saling bertentangan satu sama lain, namun di aras praktis justru saling melengkapi secara mutualis. Dalam hal apa lagi paradoksal itu nampak selain religius-sekuler dan religius-kapitalistik? Jawabannya: dalam hal demokrasi. Di satu sisi AS sangat meninggikan nilai kebebasan, kesetaraan, dan kompetisi, namun di sisi lain AS juga melegitimasi perbudakan atas kaum Kulit Hitam (yang mulanya disebut Negro, namun kelak menjadi Afro-American). Bahkan selama kurun waktu yang cukup panjang, sebelum Perang Saudara (1861-1865) antara penduduk AS bagian Utara dan penduduk AS bagian Selatan berakhir, perbudakan atas Orang Kulit Hitam itu dilegalkan sebagai sebuah institusi.

 

     Begitulah, sebelum kebijakan negara terhadap perbudakan itu berubah, umumnya keluarga Orang Kulit Putih di AS adalah pemilik budak. Termasuk Abraham Lincoln, presiden ke-16 AS (1861-1865), yang dikenal sebagai pejuang demokrasi dan anti-perbudakan. Pasca-perang, perlahan-lahan kebijakan itu pun berubah. Orang Kulit Hitam dapat menjadi warga negara AS yang sah. Namun, pelbagai kebijakan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap Orang Hitam itu masih terus terjadi.

 

     Bagaimana menerangkan keadaan yang paradoks ini: di satu sisi demokratis, di sisi lain diskriminatif? Itulah yang disebut herrenvolk democracy atau “demokrasi tuan-hamba” (Washington dalam de Gruchy, 1995). Bangsa atau masyarakat dengan budaya demokrasi seperti ini niscaya selalu berupaya membuat batas-batas sosial politik antara kelompok yang dominan (kelas satu) dan kelompok-kelompok lain (kelas dua dan seterusnya) yang dipandang tidak setara dengan mereka. Negara pun, karena dikuasai oleh kelompok yang dominan itu, selalu terdorong untuk membuat pelbagai kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok-kelompok yang tidak dominan itu. Sedikit atau banyak, itu tergantung perkembangan situasi maupun tren politik yang menguat. Artinya, jika dulu banyak kebijakan yang diskriminatif, makin lama kebijakan yang diskriminatif itu pun makin berkurang. Jika awalnya hak yang diberikan kepada Orang Hitam itu hanyalah menjadi warga negara AS, makin lama makin banyaklah hak-hak sipil dan politik yang diberikan kepada mereka. Namun, dalam satu hal Orang Hitam itu tetap dikebiri haknya: menjadi Orang Nomor Satu di dalam pemerintahan. Artinya, dalam hal menjalankan pemerintahan AS, tetaplah ada satu golongan yang dominan dan tidak boleh tergantikan posisinya, yakni WASP (White Anglo Saxon Protestant). 

 

     Namun, Orang Hitam punya mimpi, sebagaimana semua orang AS diajarkan untuk bermimpi sejak kecil. Memang, bagi setiap orang AS, semua keberhasilan dimulai dari mimpi (disebut American dream). Maka, demi mewujudkan mimpi kesetaraan itu, Orang Hitam tak henti-hentinya berjuang. Melalui gerakan hak-hak sipil yang digulirkan, lagu tema perjuangan mereka yang berjudul “We Shall Overcome”, sejak 1960-an telah dinyanyikan banyak orang di seluruh dunia yang bersimpati pada perjuangan mereka.

 

     Di antara pejuang kesetaraan hak kaum Kulit Hitam itu terdapat Martin Luther King, Jr., Ph.D (1929-1968). Ia adalah salah seorang pemimpin terpenting dalam sejarah AS dan dalam sejarah non-kekerasan di zaman modern ini, yang dianggap sebagai pahlawan, pencipta perdamaian, dan martir oleh banyak orang di seluruh dunia.

     King Jr. adalah seorang pendeta Baptis di Montgomery, Alabama, yang gigih berjuang melawan diskriminasi rasial. Dalam seluruh aksinya, ia mengikuti prinsip-prinsip Mahatma Gandhi yang selalu berupaya menghindari kekerasan. Untuk beberapa tahun, ia membuat kesuksesan besar, tetapi secara berangsur-angsur generasi muda Kulit Hitam menjauhinya karena tidak menyetujui prinsip antikekerasan yang diusungnya. Sebaliknya, King Jr. tidak pernah berhenti dan menyebarluaskan programnya. Ia tak hanya berjuang melawan diskriminasi kaum Kulit Hitam di AS, tetapi juga menentang Perang Vietnam.

 

     Kebesaran King Jr. terutama terletak pada mimpinya yang besar, yang dicetuskannya dalam pidatonya yang berjudul “I have a Dream” dalam parade berbarisnya ke Washington DC (28 Agustus 1963). Itulah yang membuatnya makin terkenal dan mendapatkan banyak gelar terhormat. Pada 1963, ia menerima Penghargaan Perdamaian Nobel. Namun, ia kemudian meninggal karena ditembak ketika melakukan aksi di Memphis pada 4 April 1968. Guncangan dari kematiannya menyebabkan banyak kerusuhan dan bentrokan di berbagai kota di seluruh AS waktu itu.

 

     Beberapa kalimat dalam pidato King Jr. yang kiranya patut disimak adalah sebagai berikut: “I have a dream that my four children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character.”   Sekarang, mimpi pendeta Kulit Hitam itu, untuk suatu saat kaum kulit berwarna dapat berdiri setara dengan kaum Kulit Putih yang selama ini dominan di AS telah menjadi kenyataan. Barrack Hussein Obama, yang berkulit hitam itu, telah menjadi presiden ke-44 AS.

 

     Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan adalah: bukankah hal yang “wajar” jika Orang Kulit Putih di AS yang dominan itu merekayasa pemilihan presiden 4 November lalu demi menghadang kemenangan Obama yang bukan bagian dari WASP-group itu? Namun, fakta bicara: demokrasi AS ternyata sudah semakin maju. Terbukti, pelbagai negative dan black campaign terhadap Obama pun tak membuat sebagian besar pemilih berpaling dari kandidat presiden keturunan Kenya, Afrika, itu.

 

    Demam Obama kini melanda dunia, termasuk Indonesia. Bagi kita, ada beberapa pesan yang dapat diambil demi memajukan demokrasi pasca-Soeharto ini. Pertama, sudah saatnya kita juga mengusangkan sistem dan budaya demokrasi berlandaskan apa yang kerap disebut asas proporsionalitas. Sebagai gantinya, meritokrasi harus dikedepankan. Kedua, inilah saatnya meninggalkan sentimen-sentimen primordialistik dalam praktik demokrasi. Jawa dan non-Jawa, Islam dan non-Islam, dan lainnya, mestinya tidak dijadikan acuan lagi dalam mempraktikkan demokrasi. Apalagi Indonesia adalah bangsa yang pluralistik, yang telah menjadikan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai semboyannya sejak dulu.

 

* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol (www.victorsilaen.com)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar