Selasa, 26 Mei 2009

Manusia dan Kematian menurut Heidegger


Daniel Adipranata

Pandangan Heidegger tentang kematian adalah menarik. Pandangannya mengkaitkan antara kematian dan kehidupan. Kematian adalah hal penting untuk kehidupan, dan merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu sendiri Manusia adalah ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Artinya, karena menyongsong sejak awal sampai akhir, kematian juga merentang dalam keseharian kita.

Menurut Heidegger, satu-satunya Being atau ‘Ada’ adalah manusia. Dengan mempertanyakan kembali ‘Ada’ kita dalam kehidupan, maka kita tidak sekedar menjalankan hidup. Tidak seperti ‘Ada’ dari orangutan atau mobil yang tergeletak di garasi, yang tidak pernah mempertanyakan ‘ada’-nya. Orangutan ada begitu saja dan mungkin tidak pernah mengambil jarak terhadap ‘Ada’-nya, maka dia tidak pernah menanyakan ‘Ada’-nya. Yang bisa melakukan itu adalah Dasein.

Dasein adalah kata Jerman yang berarti ‘Ada-di-sana’. Ada di mana? ‘Di-sana’ !. di dalam dunia begitu saja, tanpa tahu dari mana dan mau ke mana. Itulah yang disebut faktisitas (Faktizität), yaitu kenyataan bahwa kita ada di dunia ini bersifat niscaya. Kita tak pernah ditanya lebih dahulu mau atau tidak hidup di dunia ini. Kita ‘ada-begitu-saja’, kita ‘di-sana’, di dalam dunia. Heidegger menyebut ini sebagai ‘keterlemparan’ (Geworfenheit). Dasein terlempar ke dunia ini.

Kita ‘ada-begitu-saja’, terlempar. Yang membedakan Dasein dari mengada-mengada lain, adalah bahwa Dasein menyadari keterlemparan ini, lalu berupaya memahaminya. Keterlemparan ini, juga terjadi ketika menghadapi kematian. Ketika, kita tak pernah ‘menjadwalkan’ kapan kita lahir, maka kitapun tak pernah mengetahui kapan kita mati. Namun kebermaknaan hidup justru diperoleh di situ. Dalam ketidakpastian masa depan. Dengan ketidakpastian orang masih memiliki harapan. Harapan berarti terbukanya kemungkinan. Adanya kemungkinan membuat orang termotivasi untuk hidup. Di situlah orang dapat menatap ke depan dan terus memperbaiki diri sepanjang hidupnya. Kita terus meng-‘ada’ sepanjang kita hidup. Dasein memiliki peluang untuk terus memaknakan perjalanan kehidupan menuju kematian yang tidak dapat dipastikan kedatangannya.

Kematian adalah hal penting untuk kehidupan, dan merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu sendiri. Kematian adalah hal arkais dalam diri manusia, suatu fundamen dan totalitas terhadap ‘Ada’-nya di dunia ini, yang mencakup rentang sejak keterlemparan sampai kematiannya. Dasein menemukan otentisitasnya jika membuka diri terhadap ‘Ada’-nya dengan menghadapi kemungkinan kematiannya secara mendalam. Dasein menjadi inotentik ketika membiarkan dirinya larut dalam arus keseharian.

‘Ada’ manusia adalah suatu palung tanpa dasar, suatu Nicht (ketiadaan). Maksudnya, ‘Ada’ manusia secara dasariah adalah ‘ketiadaan-diri-sendiri’ (eine Nichtigkeit seiner Selbst). Keterlemparan dasein itulah yang menunjukkan bahwa ‘Ada’ Dasein adalah suatu ketiadaan, karena Dasein tak berasal dari suatu yang diketahui dan menuju ke tujuan yang tak satupun ditetapkan sebelumnya.

Tetapi, ketidaktahuan atau ketiadaan kepastian itulah yang menentukan ‘Ada’-nya, maka lompatan ke dalam hal tersebut menimbulkan kecemasan. Suatu kecemasan yang dapat menjadi mediasi untuk kontak dengan ‘Ada’ yang menjadi sumber nilai-nilai, karena dalam kecemasan itu Dasein bergerak melalui lorong pemahaman akan pencapaian kemungkinan-kemungkinan.

Dasein mencapai totalitas ‘Ada’-nya dalam kematian (Tod). Kematian adalah zenit totalitas ‘Ada’ dasein, tetapi persis pada titik itu pula Dasein kehilangan ‘Ada’-nya—suatu nadir ontologis, karena Dasein berhenti sebagai Ada-di-dalam-dunia. Namun ada suatu ruang terhormat bagi dasein yang terhenti itu. Manusia yang mati ‘lebih’ daripada seonggok daging, dan menjadi almarhum yang bermartabat. Kontak dengan ‘Ada’nya tidak berhenti. Bukan keabadian jiwa dalam pemahaman agama yang diacu di sini, melainkan pengalaman akan dunia-bersama yang masih membekas pada mereka yang ditinggalkan. Hubungan dengan yang mati seolah masih ‘bermukim’ di dalam dunia-bersama itu, sehingga yang mati ‘lebih’ daripada sekedar jenasah. Ciri ‘lebih’ itu, katakanlah semacam sedimentasi memori hasil kebiasaan kontak makna dengannya selama ini.

Tak seorang pun dapat menjemput kematian untuk orang lain. Meski orang bisa mati demi ideologi tertentu seperti teroris yang melakukan bom bunuh diri sekte yang percaya bahwa di satu waktu dan tempat tertentu mereka akan bersama-sama naik ke surga; tetapi kematian adalah tetap kematian bagi dirinya sendiri, bukan mewakili kematian orang lain. Maka itu, kematian adalah momen paling otentik dan eksistensial bagi dasein.

Akhir yang dimaksud dengan kematian, bukanlah berakhirnya dasein, melainkan suatu Ada-menuju-akhir. Dengan kata lain, akhir itu sudah ada sejak permulaan. Kematian sudah menyongsong Dasein sejak keterlemparannya. Manusia adalah ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Artinya, karena menyongsong sejak awal sampai akhir, kematian juga merentang dalam keseharian kita. Kematian selalu, dan tidak sekali saja, menghampiri dasein. Begitu juga dengan kelahiran. Keduanya adalah hal yang eksis dalam kehidupan manusia.

Ada suatu cara sederhana untuk melihat kerangka pendekatan Heidegger dalam memahami kematian: Ketika kematian bukan sesuatu yang bisa menjadi bagian dari pengalaman (melalui perjalanan hidup), tidak akan pernah ada yang bisa kita bicarakan mengenai kematian itu sendiri. Apa yang penting bukan kematian (death) itu sendiri tetapi perjalanan menuju kematian (dying), karena esensi dari keberadaan hidup manusia adalah perjalanan menuju kematian.

Kematian bukan [hanya] dalam pengertian sempit mengenai kematian fisik, melainkan kemungkinan untuk mati. Manusia pasti mati, tetapi tak tahu kapan dan bagaimana. Kecemasan akan kematian eksis dan suatu ketika menyembul dari arus keseharian. Kecemasan itu adalah kecemasan akan kemungkinannya sendiri. Namun sekali lagi, meski menyembul keluar, kematian tetap berada dalam genangan arus keseharian. Di sini akan muncul dua macam sikap terhadap kematian : sikap manusia yang inotentik, cenderung menenang-nenangkan diri dengan anggapan bahwa kematian pasti menimpa setiap orang; dan sikap dasein yang otentik membuka diri terhadap kemungkinan paling mungkin dari dirinya, yaitu kematiannya.

Manusia otentik sudah terbiasa dengan cemas dan kesendiriannya. Artinya, dalam keseharian pun ia tetap bening dengan diri. Antisipasi adalah ciri manusia atau Dasein karena ia adalah ketersingkapan itu sendiri. Karena menyingkapkan dirinya sendiri, dia terbuka terhadap sesuatu yang ada di depan. Dia selalu menyongsong ke depan, mendahului diri, dalam arti manusia itu selalu merupakan gerak, gerak menjadi (Werden), yaitu tidak pernah selesai untuk berkembang. Selalu berkembang sampai mati.

Suatu kesadaran bahwa manusia itu hidup menuju kematian dan keberadaan di dunia hanya persinggahan sementara. Ini adalah bentuk antisipasi (Vorlaufen) atas kematian. Mereka menganggap kematian inheren dalam kehidupan, dan oleh karena itu tak guna ditakutkan. Mereka melihat kematian sebagai bagian eksistensi.

Bandingkan dengan fenomen yang mirip dengan itu, yaitu orang yang karena ajaran-ajaran tertentu tidak lagi takut mati, malah membuat dirinya cepat mati, seperti penganut sekte penunggu kiamat atau pelaku bom bunuh diri. Dalam perspektif Heideggerian, itu termasuk modus kehidupan yang tidak otentik (Das Man). Orang-orang ini, melihat kematian selalu di depan mata, kemudian mereka juga ikut membunuh bersama yang lain. Tidak lagi cemas dengan kematian, tetapi juga tidak pernah sampai taraf di mana harus menghargai hidup. Hanya nafsu survival saja. Membunuh atau dibunuh.

Heidegger menekankan bagaimana kita menghargai hidup yang historis, tidak destruktif bagi sesama manusia, lingkungan alam, lingkungan benda-benda sekitar. Semua adalah relasi kehidupan bersama sebagai meng-‘Ada’ di dunia, dan tugas Dasein-lah untuk merawat eksistensi dunianya. Bagi Dasein, kesadaran akan kematian pada akhirnya merupakan kesadaran akan makna kehidupan.

Bukan kematian yang menjadi esensi untuk kita cemaskan tetapi keotentikan kita dalam menghadapi kematian itu. Keotentikan yang bisa kita peroleh dari kesadaran akan keberadaan kita dan tidak membiarkan kita larut dalam arus keseharian. Larut dalam dogma-dogma serta janji yang kita sendiri tidak pernah tahu esensinya bagi penghargaan akan kehidupan, atau larut dalam usaha untuk bertahan hidup tanpa pernah memaknakan apa sebenarnya arti hidup bagi kita. Dengan menyadari keotentikan kita, maka sebenarnya kita tidak akan pernah takut mengalami kematian itu sendiri. Kematian kitapun bukan sekedar kematian tanpa makna bagi kehidupan yang kita tinggalkan.

Daniel Adipranata

2007@Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar