Selasa, 26 Mei 2009

Manusia dan Kematian menurut Heidegger


Daniel Adipranata

Pandangan Heidegger tentang kematian adalah menarik. Pandangannya mengkaitkan antara kematian dan kehidupan. Kematian adalah hal penting untuk kehidupan, dan merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu sendiri Manusia adalah ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Artinya, karena menyongsong sejak awal sampai akhir, kematian juga merentang dalam keseharian kita.

Menurut Heidegger, satu-satunya Being atau ‘Ada’ adalah manusia. Dengan mempertanyakan kembali ‘Ada’ kita dalam kehidupan, maka kita tidak sekedar menjalankan hidup. Tidak seperti ‘Ada’ dari orangutan atau mobil yang tergeletak di garasi, yang tidak pernah mempertanyakan ‘ada’-nya. Orangutan ada begitu saja dan mungkin tidak pernah mengambil jarak terhadap ‘Ada’-nya, maka dia tidak pernah menanyakan ‘Ada’-nya. Yang bisa melakukan itu adalah Dasein.

Dasein adalah kata Jerman yang berarti ‘Ada-di-sana’. Ada di mana? ‘Di-sana’ !. di dalam dunia begitu saja, tanpa tahu dari mana dan mau ke mana. Itulah yang disebut faktisitas (Faktizität), yaitu kenyataan bahwa kita ada di dunia ini bersifat niscaya. Kita tak pernah ditanya lebih dahulu mau atau tidak hidup di dunia ini. Kita ‘ada-begitu-saja’, kita ‘di-sana’, di dalam dunia. Heidegger menyebut ini sebagai ‘keterlemparan’ (Geworfenheit). Dasein terlempar ke dunia ini.

Kita ‘ada-begitu-saja’, terlempar. Yang membedakan Dasein dari mengada-mengada lain, adalah bahwa Dasein menyadari keterlemparan ini, lalu berupaya memahaminya. Keterlemparan ini, juga terjadi ketika menghadapi kematian. Ketika, kita tak pernah ‘menjadwalkan’ kapan kita lahir, maka kitapun tak pernah mengetahui kapan kita mati. Namun kebermaknaan hidup justru diperoleh di situ. Dalam ketidakpastian masa depan. Dengan ketidakpastian orang masih memiliki harapan. Harapan berarti terbukanya kemungkinan. Adanya kemungkinan membuat orang termotivasi untuk hidup. Di situlah orang dapat menatap ke depan dan terus memperbaiki diri sepanjang hidupnya. Kita terus meng-‘ada’ sepanjang kita hidup. Dasein memiliki peluang untuk terus memaknakan perjalanan kehidupan menuju kematian yang tidak dapat dipastikan kedatangannya.

Kematian adalah hal penting untuk kehidupan, dan merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu sendiri. Kematian adalah hal arkais dalam diri manusia, suatu fundamen dan totalitas terhadap ‘Ada’-nya di dunia ini, yang mencakup rentang sejak keterlemparan sampai kematiannya. Dasein menemukan otentisitasnya jika membuka diri terhadap ‘Ada’-nya dengan menghadapi kemungkinan kematiannya secara mendalam. Dasein menjadi inotentik ketika membiarkan dirinya larut dalam arus keseharian.

‘Ada’ manusia adalah suatu palung tanpa dasar, suatu Nicht (ketiadaan). Maksudnya, ‘Ada’ manusia secara dasariah adalah ‘ketiadaan-diri-sendiri’ (eine Nichtigkeit seiner Selbst). Keterlemparan dasein itulah yang menunjukkan bahwa ‘Ada’ Dasein adalah suatu ketiadaan, karena Dasein tak berasal dari suatu yang diketahui dan menuju ke tujuan yang tak satupun ditetapkan sebelumnya.

Tetapi, ketidaktahuan atau ketiadaan kepastian itulah yang menentukan ‘Ada’-nya, maka lompatan ke dalam hal tersebut menimbulkan kecemasan. Suatu kecemasan yang dapat menjadi mediasi untuk kontak dengan ‘Ada’ yang menjadi sumber nilai-nilai, karena dalam kecemasan itu Dasein bergerak melalui lorong pemahaman akan pencapaian kemungkinan-kemungkinan.

Dasein mencapai totalitas ‘Ada’-nya dalam kematian (Tod). Kematian adalah zenit totalitas ‘Ada’ dasein, tetapi persis pada titik itu pula Dasein kehilangan ‘Ada’-nya—suatu nadir ontologis, karena Dasein berhenti sebagai Ada-di-dalam-dunia. Namun ada suatu ruang terhormat bagi dasein yang terhenti itu. Manusia yang mati ‘lebih’ daripada seonggok daging, dan menjadi almarhum yang bermartabat. Kontak dengan ‘Ada’nya tidak berhenti. Bukan keabadian jiwa dalam pemahaman agama yang diacu di sini, melainkan pengalaman akan dunia-bersama yang masih membekas pada mereka yang ditinggalkan. Hubungan dengan yang mati seolah masih ‘bermukim’ di dalam dunia-bersama itu, sehingga yang mati ‘lebih’ daripada sekedar jenasah. Ciri ‘lebih’ itu, katakanlah semacam sedimentasi memori hasil kebiasaan kontak makna dengannya selama ini.

Tak seorang pun dapat menjemput kematian untuk orang lain. Meski orang bisa mati demi ideologi tertentu seperti teroris yang melakukan bom bunuh diri sekte yang percaya bahwa di satu waktu dan tempat tertentu mereka akan bersama-sama naik ke surga; tetapi kematian adalah tetap kematian bagi dirinya sendiri, bukan mewakili kematian orang lain. Maka itu, kematian adalah momen paling otentik dan eksistensial bagi dasein.

Akhir yang dimaksud dengan kematian, bukanlah berakhirnya dasein, melainkan suatu Ada-menuju-akhir. Dengan kata lain, akhir itu sudah ada sejak permulaan. Kematian sudah menyongsong Dasein sejak keterlemparannya. Manusia adalah ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Artinya, karena menyongsong sejak awal sampai akhir, kematian juga merentang dalam keseharian kita. Kematian selalu, dan tidak sekali saja, menghampiri dasein. Begitu juga dengan kelahiran. Keduanya adalah hal yang eksis dalam kehidupan manusia.

Ada suatu cara sederhana untuk melihat kerangka pendekatan Heidegger dalam memahami kematian: Ketika kematian bukan sesuatu yang bisa menjadi bagian dari pengalaman (melalui perjalanan hidup), tidak akan pernah ada yang bisa kita bicarakan mengenai kematian itu sendiri. Apa yang penting bukan kematian (death) itu sendiri tetapi perjalanan menuju kematian (dying), karena esensi dari keberadaan hidup manusia adalah perjalanan menuju kematian.

Kematian bukan [hanya] dalam pengertian sempit mengenai kematian fisik, melainkan kemungkinan untuk mati. Manusia pasti mati, tetapi tak tahu kapan dan bagaimana. Kecemasan akan kematian eksis dan suatu ketika menyembul dari arus keseharian. Kecemasan itu adalah kecemasan akan kemungkinannya sendiri. Namun sekali lagi, meski menyembul keluar, kematian tetap berada dalam genangan arus keseharian. Di sini akan muncul dua macam sikap terhadap kematian : sikap manusia yang inotentik, cenderung menenang-nenangkan diri dengan anggapan bahwa kematian pasti menimpa setiap orang; dan sikap dasein yang otentik membuka diri terhadap kemungkinan paling mungkin dari dirinya, yaitu kematiannya.

Manusia otentik sudah terbiasa dengan cemas dan kesendiriannya. Artinya, dalam keseharian pun ia tetap bening dengan diri. Antisipasi adalah ciri manusia atau Dasein karena ia adalah ketersingkapan itu sendiri. Karena menyingkapkan dirinya sendiri, dia terbuka terhadap sesuatu yang ada di depan. Dia selalu menyongsong ke depan, mendahului diri, dalam arti manusia itu selalu merupakan gerak, gerak menjadi (Werden), yaitu tidak pernah selesai untuk berkembang. Selalu berkembang sampai mati.

Suatu kesadaran bahwa manusia itu hidup menuju kematian dan keberadaan di dunia hanya persinggahan sementara. Ini adalah bentuk antisipasi (Vorlaufen) atas kematian. Mereka menganggap kematian inheren dalam kehidupan, dan oleh karena itu tak guna ditakutkan. Mereka melihat kematian sebagai bagian eksistensi.

Bandingkan dengan fenomen yang mirip dengan itu, yaitu orang yang karena ajaran-ajaran tertentu tidak lagi takut mati, malah membuat dirinya cepat mati, seperti penganut sekte penunggu kiamat atau pelaku bom bunuh diri. Dalam perspektif Heideggerian, itu termasuk modus kehidupan yang tidak otentik (Das Man). Orang-orang ini, melihat kematian selalu di depan mata, kemudian mereka juga ikut membunuh bersama yang lain. Tidak lagi cemas dengan kematian, tetapi juga tidak pernah sampai taraf di mana harus menghargai hidup. Hanya nafsu survival saja. Membunuh atau dibunuh.

Heidegger menekankan bagaimana kita menghargai hidup yang historis, tidak destruktif bagi sesama manusia, lingkungan alam, lingkungan benda-benda sekitar. Semua adalah relasi kehidupan bersama sebagai meng-‘Ada’ di dunia, dan tugas Dasein-lah untuk merawat eksistensi dunianya. Bagi Dasein, kesadaran akan kematian pada akhirnya merupakan kesadaran akan makna kehidupan.

Bukan kematian yang menjadi esensi untuk kita cemaskan tetapi keotentikan kita dalam menghadapi kematian itu. Keotentikan yang bisa kita peroleh dari kesadaran akan keberadaan kita dan tidak membiarkan kita larut dalam arus keseharian. Larut dalam dogma-dogma serta janji yang kita sendiri tidak pernah tahu esensinya bagi penghargaan akan kehidupan, atau larut dalam usaha untuk bertahan hidup tanpa pernah memaknakan apa sebenarnya arti hidup bagi kita. Dengan menyadari keotentikan kita, maka sebenarnya kita tidak akan pernah takut mengalami kematian itu sendiri. Kematian kitapun bukan sekedar kematian tanpa makna bagi kehidupan yang kita tinggalkan.

Daniel Adipranata

2007@Jakarta

Selasa, 20 Januari 2009

Obama dan Impian Demokrasi



Oleh Victor Silaen

 Investor Daily, 17-18 Januari 2009

    Tanggal 20 Januari mendatang niscaya menjadi hari paling bersejarah dalam hidup Barack Obama, karena saat itu ia secara resmi dilantik menjadi Presiden ke-44 Amerika Serikat (AS). Bagi AS sendiri, saat itu juga niscaya menjadi hari bersejarah karena Obama akan tercatat sebagai presiden pertama yang berkulit hitam – bukan dari golongan dominant White Anglo Saxon Protestant (WASP). Tak heran jika terbetik kabar bahwa tak kurang dari 5.000 lembar tiket berharga sangat mahal, untuk dapat menyaksikan Parade Inagurasi Kepresidenan, sudah habis terjual.

 

    Dunia pun tak kurang antusiasnya memonitor apa yang bakal berlangsung pada 20 Januari nanti, dan apa yang akan dikatakan Obama dalam pidato pelantikannya nanti. Kita teringat pada pernyataan ilmuwan politik terkemuka AS, Samuel Huntington (1997): “Dunia tanpa dominasi AS akan menjadi sebuah dunia yang banyak diisi dengan kekacauan dan kesemrawutan serta akan lebih tidak demokratis dan tidak memiliki pertumbuhan ekonomi yang memuaskan dibandingkan dengan sebuah dunia di mana Amerika Serikat memiliki pengaruh yang kuat dari negara manapun dalam menyelesaikan masalah-masalah global.”

 

     Setuju atau tidak setuju dengan pernyataan itu, suka atau tidak suka dengan AS, yang jelas pengaruh AS di arena internasional memang amat besar. Salah satu penyebabnya, karena AS kerap disebut sebagai kampiun demokrasi. Bukan karena kesempurnaan demokrasi yang dijalankannya selama ini, melainkan karena AS tercatat sebagai negara pertama di dunia yang berbentuk republik dan negara pertama pula yang memisahkan relasi antara negara dan agama, pada 1776.

 

     Dikarenakan pemisahan hubungan negara-agama itu, apakah seiring waktu AS berkembang menjadi bangsa yang tidak religius? Tidak. Faktanya, sejak dulu hingga kini AS tetaplah bangsa yang meninggikan Tuhan dan berpedoman pada nilai-nilai agama di dalam kehidupannya. Buktinya, antara lain, di dalam mata uang mereka tertulis kata-kata “In God We Trust”, dan tetap begitu sampai sekarang sekalipun di sisi lain mereka juga cenderung kapitalistik. 

 

     “AS memang bangsa yang paradoks,” tulis Michael Kammen, pemenang Pulitzer Prize, dalam People of Paradox, An Inquiry Concerning The Origins of American Civilization (1972) yang ditulisnya. Kammen, dalam buku itu, dinilai mampu menyibak asal-muasal terbentuknya AS menja di bangsa yang memiliki sejumlah karakter nasional yang saling bertentangan satu sama lain, namun di aras praktis justru saling melengkapi secara mutualis. Dalam hal apa lagi paradoksal itu nampak selain religius-sekuler dan religius-kapitalistik? Jawabannya: dalam hal demokrasi. Di satu sisi AS sangat meninggikan nilai kebebasan, kesetaraan, dan kompetisi, namun di sisi lain AS juga melegitimasi perbudakan atas kaum Kulit Hitam (yang mulanya disebut Negro, namun kelak menjadi Afro-American). Bahkan selama kurun waktu yang cukup panjang, sebelum Perang Saudara (1861-1865) antara penduduk AS bagian Utara dan penduduk AS bagian Selatan berakhir, perbudakan atas Orang Kulit Hitam itu dilegalkan sebagai sebuah institusi.

 

     Begitulah, sebelum kebijakan negara terhadap perbudakan itu berubah, umumnya keluarga Orang Kulit Putih di AS adalah pemilik budak. Termasuk Abraham Lincoln, presiden ke-16 AS (1861-1865), yang dikenal sebagai pejuang demokrasi dan anti-perbudakan. Pasca-perang, perlahan-lahan kebijakan itu pun berubah. Orang Kulit Hitam dapat menjadi warga negara AS yang sah. Namun, pelbagai kebijakan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap Orang Hitam itu masih terus terjadi.

 

     Bagaimana menerangkan keadaan yang paradoks ini: di satu sisi demokratis, di sisi lain diskriminatif? Itulah yang disebut herrenvolk democracy atau “demokrasi tuan-hamba” (Washington dalam de Gruchy, 1995). Bangsa atau masyarakat dengan budaya demokrasi seperti ini niscaya selalu berupaya membuat batas-batas sosial politik antara kelompok yang dominan (kelas satu) dan kelompok-kelompok lain (kelas dua dan seterusnya) yang dipandang tidak setara dengan mereka. Negara pun, karena dikuasai oleh kelompok yang dominan itu, selalu terdorong untuk membuat pelbagai kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok-kelompok yang tidak dominan itu. Sedikit atau banyak, itu tergantung perkembangan situasi maupun tren politik yang menguat. Artinya, jika dulu banyak kebijakan yang diskriminatif, makin lama kebijakan yang diskriminatif itu pun makin berkurang. Jika awalnya hak yang diberikan kepada Orang Hitam itu hanyalah menjadi warga negara AS, makin lama makin banyaklah hak-hak sipil dan politik yang diberikan kepada mereka. Namun, dalam satu hal Orang Hitam itu tetap dikebiri haknya: menjadi Orang Nomor Satu di dalam pemerintahan. Artinya, dalam hal menjalankan pemerintahan AS, tetaplah ada satu golongan yang dominan dan tidak boleh tergantikan posisinya, yakni WASP (White Anglo Saxon Protestant). 

 

     Namun, Orang Hitam punya mimpi, sebagaimana semua orang AS diajarkan untuk bermimpi sejak kecil. Memang, bagi setiap orang AS, semua keberhasilan dimulai dari mimpi (disebut American dream). Maka, demi mewujudkan mimpi kesetaraan itu, Orang Hitam tak henti-hentinya berjuang. Melalui gerakan hak-hak sipil yang digulirkan, lagu tema perjuangan mereka yang berjudul “We Shall Overcome”, sejak 1960-an telah dinyanyikan banyak orang di seluruh dunia yang bersimpati pada perjuangan mereka.

 

     Di antara pejuang kesetaraan hak kaum Kulit Hitam itu terdapat Martin Luther King, Jr., Ph.D (1929-1968). Ia adalah salah seorang pemimpin terpenting dalam sejarah AS dan dalam sejarah non-kekerasan di zaman modern ini, yang dianggap sebagai pahlawan, pencipta perdamaian, dan martir oleh banyak orang di seluruh dunia.

     King Jr. adalah seorang pendeta Baptis di Montgomery, Alabama, yang gigih berjuang melawan diskriminasi rasial. Dalam seluruh aksinya, ia mengikuti prinsip-prinsip Mahatma Gandhi yang selalu berupaya menghindari kekerasan. Untuk beberapa tahun, ia membuat kesuksesan besar, tetapi secara berangsur-angsur generasi muda Kulit Hitam menjauhinya karena tidak menyetujui prinsip antikekerasan yang diusungnya. Sebaliknya, King Jr. tidak pernah berhenti dan menyebarluaskan programnya. Ia tak hanya berjuang melawan diskriminasi kaum Kulit Hitam di AS, tetapi juga menentang Perang Vietnam.

 

     Kebesaran King Jr. terutama terletak pada mimpinya yang besar, yang dicetuskannya dalam pidatonya yang berjudul “I have a Dream” dalam parade berbarisnya ke Washington DC (28 Agustus 1963). Itulah yang membuatnya makin terkenal dan mendapatkan banyak gelar terhormat. Pada 1963, ia menerima Penghargaan Perdamaian Nobel. Namun, ia kemudian meninggal karena ditembak ketika melakukan aksi di Memphis pada 4 April 1968. Guncangan dari kematiannya menyebabkan banyak kerusuhan dan bentrokan di berbagai kota di seluruh AS waktu itu.

 

     Beberapa kalimat dalam pidato King Jr. yang kiranya patut disimak adalah sebagai berikut: “I have a dream that my four children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character.”   Sekarang, mimpi pendeta Kulit Hitam itu, untuk suatu saat kaum kulit berwarna dapat berdiri setara dengan kaum Kulit Putih yang selama ini dominan di AS telah menjadi kenyataan. Barrack Hussein Obama, yang berkulit hitam itu, telah menjadi presiden ke-44 AS.

 

     Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan adalah: bukankah hal yang “wajar” jika Orang Kulit Putih di AS yang dominan itu merekayasa pemilihan presiden 4 November lalu demi menghadang kemenangan Obama yang bukan bagian dari WASP-group itu? Namun, fakta bicara: demokrasi AS ternyata sudah semakin maju. Terbukti, pelbagai negative dan black campaign terhadap Obama pun tak membuat sebagian besar pemilih berpaling dari kandidat presiden keturunan Kenya, Afrika, itu.

 

    Demam Obama kini melanda dunia, termasuk Indonesia. Bagi kita, ada beberapa pesan yang dapat diambil demi memajukan demokrasi pasca-Soeharto ini. Pertama, sudah saatnya kita juga mengusangkan sistem dan budaya demokrasi berlandaskan apa yang kerap disebut asas proporsionalitas. Sebagai gantinya, meritokrasi harus dikedepankan. Kedua, inilah saatnya meninggalkan sentimen-sentimen primordialistik dalam praktik demokrasi. Jawa dan non-Jawa, Islam dan non-Islam, dan lainnya, mestinya tidak dijadikan acuan lagi dalam mempraktikkan demokrasi. Apalagi Indonesia adalah bangsa yang pluralistik, yang telah menjadikan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai semboyannya sejak dulu.

 

* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol (www.victorsilaen.com)  

Rabu, 07 Januari 2009

Rekonstruksi Makna Natal


Pikiran Rakyat, 24 Desember 2008

Bagi umat Nasrani, Natal berarti merayakan kelahiran Yesus Kristus di bumi. Kelahiran-Nya menumbuhkan harapan untuk pemulihan hubungan umat manusia dengan Tuhan yang rusak akibat kejahatan dan dosa. Ajaran dan tindakan-Nya mereformasi pola pikir, nilai moral, tatanan sosial, dan pengalaman spiritual. Dengan demikian, hubungan umat manusia dengan Tuhan tidak lagi merupakan pengetahuan supernatural (transendental) dan ritual, tetapi sekaligus merupakan pengalaman unik bagi umat (imanen).

Dalam perspektif pragmatisme, makna dinyatakan dengan pemolaan atas interaksi sosial yang terjadi berulang kali sebagai produk dari sistem sosial secara keseluruhan (Aubrey Fisher, Perspectives on Human Communication; 1978). Perwujudan interaksi sosial ini muncul dalam pola perilaku yang merupakan cerminan perasaan emosi, kepribadian, dan sikap yang diinternalisasikan. Maka, makna Natal dinyatakan melalui perilaku-perilaku umat yang saling berinteraksi dalam tradisi Nasrani dan sistem sosial.

Perulangan interaksi sosial yang dinamis itu memunculkan stereotip mengenai keragaman makna. Saat ini, Natal hampir tak terpisahkan dengan sukacita perayaan di berbagai tempat, menghias pohon cemara, lilin, hadiah, nuansa liburan, sampai diskon produk barang dan jasa. Pemaknaan simbol dan ikon Natal ini mendistorsi makna asali Natal, tetapi sekaligus mengaktualkan makna Natal.

Rekonstruksi Makna

Pada hakikatnya, makna dalam komunikasi merupakan fenomena sosial. Makna selalu mencakup banyak aspek pemahaman (kerangka acuan, simbol, sifat sosial, dll) yang dimiliki oleh para komunikator. Di samping itu, pengertian makna bergantung pada perspektif yang digunakan untuk mengkaji proses komunikatif. Jawaban yang cukup memadai bagi satu perspektif belum tentu sesuai bagi perspektif lain. Dengan demikian jawaban "benar" atau "yang terbaik" menjadi tidak relevan asalkan pengkajian dilakukan secara konsisten dan bertanggung jawab.

Dalam hal ini, para pendeta, uskup, dan jajaran penatalayan gereja diberikan mandat penting sebagai pembentuk opini (opinion leader). Mereka memerlukan disiplin penafsiran yang baik atas teks kitab suci untuk mencerdaskan umat. Pencerahan ini seharusnya menolong umat untuk menemukan relevansi penafsiran teks kitab suci dengan kehidupan nyata umat.

Relevansi tersebut tercermin dalam interaksi sosial sehari-hari. Gereja perlu mendorong dan menolong umat untuk mengejawantahkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai kebaikan yang berakar akan menjadi bahasa bersama untuk membangun dan memperbaiki moralitas bangsa.

Harapan

Dalam kehidupan sosial, perjuangan gereja untuk menyuarakan perbaikan moral harus terus dikumandangkan. Perbaikan moral dilakukan dalam segala bidang, termasuk institusi gereja. Gereja seharusnya tidak mementingkan kepentingan pribadi, golongan, atau terlibat dalam politik praktis. Perebutan jabatan atau kekuasaan dalam gereja justru meresahkan masyarakat dan melemahkan kepercayaan umat.

Melalui kenyataan ini, umat perlu terlibat aktif dalam pembenahan gereja sebagai institusi. Pembenahan ini menumbuhkan harapan untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang lebih baik. Tatanan masyarakat yang realistis. Tidak hanya berada pada alam konseptual dan naif.

Harapan ini perlu diperjuangkan dan diwujudkan secara bersama-sama dengan pemerintah, antarlembaga, lintas agama, dan masyarakat. Tantangan konflik horizontal karena SARA, iklim politik menjelang pemilu 2009, krisis ekonomi global yang memengaruhi stabilitas ekonomi dalam negeri, kemiskinan, hukum yang kehilangan keadilannya, bencana alam, dan rusaknya moralitas bangsa karena korupsi dan kebohongan menjadi agenda kusut yang harus dihadapi bersama. Namun, perjuangan dan harapan itu tidak akan sia-sia karena dibangun di atas semangat yang sama.

Sama halnya ketika umat Nasrani menantikan kelahiran Yesus Kristus untuk memulihkan hubungan umat dengan Tuhan, harapan untuk membenahi kondisi bangsa ini akan terus hidup. Semangat dan harapan Natal menjadi bahasa universal yang dapat dimaknai oleh siapa pun untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih baik. Selamat memaknai Natal! 

Oleh Yulius Tandyanto (Penulis, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Associate Staf Persekutuan Kristen Antar Universitas (Perkantas) cabang  )

*Untuk-mu....


-Ellys Z Manalu-

Jakarta, 26 Desember 2008

Lama kupendam rasa ini dan ingin kusampaikan padamu. Aku menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya padamu. Maaf jika aku tak dapat menuliskan segalanya tentangmu dalam rangkaian kalimat yang mampu menggugah rasa. Pintaku, terimalah ungkapan ini sebagai hadiah yang keluar dari sanubariku. Dan hanya untukmu....

Tahukah kau, hadirmu telah mengukir berjuta kisah dalam perjalananku. Kadang kau memberikan aku bahagia, kadang juga kau membawakan aku sedih. Dan tak jarang kau menawarkan aku kejengkelan. Tetapi sering juga kau membingkiskan aku keriangan serta gelak tawa. Itulah dirimu….

Hingga kini aku masih berjuang untuk menerima tiap perbedaan antara kau dan aku. Namun aku sangat suka tatkala temukan persamaan antara kau dan aku. Sebenarnya aku tahu, kau tidak akan pernah bisa menjadi orang lain. Dan aku pun tahu, kau tak akan pernah bisa seperti kumau dan kukehendaki. Karena kau adalah kau, demikianlah Tuhan menciptakanmu.

Begitu banyak kenangan yang telah kujalani denganmu. Ribuan mil perjalanan yang telah kutempuh bersamamu. Jutaan waktu yang telah kuhabiskan memikirkanmu. Dalam tatanan waktu itu, ada saat aku ingin sekali menepismu namun entah kenapa aku tak mampu. Semakin aku berjuang untuk mengikismu, semakin kuat kau menggelayut di alam pikirku.

Ingatkah kau waktu itu, waktu dimana kau membuat aku terluka? Kala itu, aku sangat benci padamu karena membuatku menangis. Benci makin jadi ketika aku menangkap kesan sepertinya kau tak perduli. Lucunya, di lain waktu, ternyata aku pun melakukan hal yang sama, aku melukaimu. Ketika itu, ingin segera memelukmu untuk minta maaf tetapi gengsi telah memenjarakanku. Melalui kejadian itu, aku percaya bahwa kau pun memiliki rasa yang sama saat kau melukaiku. Benarkan???

Seiring berjalannya waktu, kesadaran akan makna hadirmu semakin dapat kunikmati kini. Kau telah mendewasakanku dalam banyak hal. Banyak pelajaran yang kupetik dari tingkahmu yang kadang lucu dan kadang menjengkelkan. Kau ibarat cermin bagiku. Lewat kau aku dapat mengamati siapa diriku sebenarnya. Lewat keberadaanmu aku pun dimampukan untuk memahami keutuhan hidup anak manusia. Lewat hadirmu, aku pun mengerti apa itu kerapuhan dan apa itu kekuatan.

Aku sadar, cerita ini terlalu sederhana untuk mengisahkan siapa dirimu. Namun apa yang telah kurasakan tentangmu jauh lebih indah dari tulisan ini. Untukmu...tak cukup kata yang dapat kugubah. Untukmu...tak cukup kalimat yang dapat kutulis. Untukmu...tak ada janji yang mampu kuuntai dan untukmu...tak ada mimpi yang dapat kutawarkan. Aku hanya dapat bersyukur kepada Tuhan yang telah mengirimkan kau untukku, menjadi teman, sahabat, kakak, dan adik di hidupku. Menyimpan segala kenangan tentangmu dalam album memoriku serta mencatatkan namamu di buku ceritaku, kini menjadi aktifitas menyenangkan untukku.

Sejenak aku akan berhenti menulis tentangmu....tetapi hanya sejenak, nanti kulanjutkan kembali. Karena kuyakin kisah antara kau dan aku tidak berakhir sampai disini. Selama masih ada waktu, aku akan setia menulis perjalanan yang tercipta kelak diantara kita. Sekarang, doaku kiranya hadirmu kian buatku paham akan makna hidup ini. Harapku, hadirmu kian buatku menyadari tentang arti dari sebuah penerimaan. Mimpiku, hadirmu kian buatku mengerti betapa indahnya sebuah perbedaan. Inginku, hadirmu pun kian buatku makin dewasa dan bijak dalam menapaki langkah ke depan.

Akhirnya, bagiku kau takkan pernah tergantikan oleh atau dengan siapapun...karena kau adalah kau...dan kau adalah anugerah Tuhan dihidupku. Terimakasih kuucapkan atas kerelaanmu jadi bagian dari hidupku. Setelah ini, maukah kau berdoa untukku agar aku mampu menjaga dan merawat kenangan bersamamu kini, nanti dan selamanya.....sekali lagi terimakasih.....

* untuk semua pribadi yang pernah hadir dalam hidupku

AGAMA IYA, KORUPSI JUGA IYA


Apakah ada relasi antara agama dan korupsi ? Keagamaan seperti apa yang dibutuhkan untuk memberantas korupsi ?

Agama iya, korupsi juga iya, itulah gambaran bangsa Indonesia. Indonesia merupakan negara paling korup keenam dari 133 negara yang dinilai Transparency International Indonesia (TII). TII mendapatkan peringkat tersebut berdasarkan nilai Indeks Persepsi Korupsi Transparency International 2003 yang dihasilkan dari 13 survey independent oleh lembaga survey internasional. Di Asia, hanya Banglades dan Myanmar yang lebih korup dibandingkan dengan Indonesia. Adapun di tingkat dunia, negara-negara yang IPK-nya lebih buruk dari Indonesia hanya negara yang kondisinya pun sedang konflik, antara lain Angola, Azerbaijan, Tajkistan dan Haiti. (Emmy Hafid, sekjen TII (Kompas, 7/10/2003) ).

Fakta tingkat korupsi yang begitu tinggi inilah yang sangat menyedihkan kita bersama. Karena di sisi yang lain kehidupan keagamaan di Indonesia justru mengalami kebangkitan. Pesantren, sekolah teologia didirikan dimana-mana, parta-partai yang berbasiskan agama menjamur, tablig akbar dihadiri ratusan ribu umat, rumah-rumah ibadah yang besar dan mewah, Kebaktian Kebangunan Rohani ada dimana-mana, jumlah jemaat gereja dan komunitas Kristen bertambah, dan program-program agama di televisi semakin banyak . Kegiatan agama menjadi menu sehari-hari rakyat Indonesia, dan tidak ada seorangpun yang mengaku tidak beragama. . Akan tetapi korupsi semakin juga marak.. Korupsi bukan hanya di tingkat pusat, tetapi justru menggurita sampai ke tingkatan yang paling bawah dalam masyarakat. Indeks korupsi kita semakin buruk secara international. Dari sekitar tujuh di tahun 1992, menjadi hampir sembilan di tahun 2000.

Menjadi pertanyaan kita bersama, apakah ada keterkaitan agama dan korupsi ? Apakah agama akan mengurangi korupsi ? Mengapa seolah-olah agama tidak mampu mendorong sikap anti korupsi pada umatnya ?

Keberagamaan Formalistik vs Keberagamaan Sejati

Pada dasarnya semua agama mengajarkan dan mendorong kehidupan moral yang anti korupsi. Semangat untuk tidak mementingkan diri sendiri, dan mengedepankan kepentingan orang lain, menjadi semangat keagaaman yang universal. Setiap agama mengajarkan umatnya untuk berbuat adil dan benar kepada sesama. Gaya hidup hedonis menjadi gaya hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai agama apapun.

Namun, dari perpektif kehidupan dan pengalaman agama sendiri, ada hal-hal yang perlu dikoreksi. Sudah sangat sering kita mendengar kritik tentang kehidupan dan penerapan keagamaan masyarakat Indonesia yang lebih berorientasi pada formalisme dan simbolisme keagamaan daripada substansi. Agama yang diterapkan secara formalistik adalah agama yang tidak membawa perubahan perilaku dan sikap hidup pada umatnya. Seseorang dapat rajin menjalankan ibadah, memberikan persembahan, aktif melayani, namun disisi lain perilaku sosialnya menyimpang. Mereka tetap menjadi orang yang korup, bengis kepada sesama, tidak adil, dan bergaya hidup hedonis. Seolah-olah agama adalah urusan dia pribadi dengan Tuhan, urusan di hari Minggu namun hari Senin-Sabtu pada waktu dia bekerja adalah urusan bisnis. Terjadi pemisahan antara sikap dan tingkah laku di gereja dengan tingkah laku di kantor, di jalan raya, di rumah dan sebagainya. Sikap dan pemahaman yang terpisah antara kesalehan individu dan kesalehan sosial inilah yang menjadi akar terjadinya ketidakselarasan antara aktifitas keagamaan seseorang dengan aktifitas sehari-hari seseorang. Antara pengetahuan agamanya dengan etika dan moralitasnya. Karena itu, sikap keberagamaan yang terpecah (split) dan mendua ini harus dikoreksi, dan diperlukan keberagamaan yang seutuhnya (sejati).

Dalam salah satu karya yang terbesar Jonathan Edwards di bidang religius dan psikologis di Amerika, Religius Affections (1746), disebutkan bahwa ada empat tanda (yang tidak dapat dipercaya) dari keberagamaan yang semu atau palsu. Pertama, perasaan religius yang kuat, misalnya perasaan gembira sekali . Perasaan itu dapat membuat kita mengalami kehangatan batin, tetapi belum tentu berarti bahwa seorang menjadi pengikut Kristus sejati. Bahkan orang-orang yang berseru “Hosana” pada Minggu Palem sangat gembira menyambut Yesus tetapi beberapa hari kemudian menyangkali Yesus. Kedua, berbicara lancar dan sering mengenai agama.atau Allah, juga belum menjadi jaminan. Orang yang memiliki pengetahuan agama, belum tentu pengetahuan itu menjadi hidup keimanannya yang sesungguhnya. Ketiga, penampilan yang baik, kasih, dan rendah hati dapat menipu kita. Edwards menyatakan sikap ini banyak dan mudah ditiru demi ambisi atau kepentingan pribadi seseorang. Keempat, pengabdian yang bersemangat dan makan waktu kepada kegiatan-kegiatan agama juga dapat disebabkan oleh berbagai kepentingan pribadi atau kepuasan psikoligis seseorang. Pengabdian luar kepada Allah belum menjadi jaminan dari kerohanian batin. Orang kudus sejati dan orang munafik ... mungkin penampilan luarnya sama.

Sebaliknya, ada beberapa tanda kerohanian (keberagamaan) yang sejati yang seharusnya tampak pada seorang Kristen yang sejati. Pertama, tertarik kepada Allah dan jalan-jalannya semata-mata, bukan karena alasan lain. Namun dari hasil pengenalannya akan Allah, dimotivasikan oleh kerinduan untuk menyenangkan Dia dan mengasihi Dia. Kedua, Melihat keindahan dalam kekudusan Allah . Ini tanda yang paling khas dari kerohanian Kristen sejati. Kerohanian ini meliputi penghargaan yang makin dalam terhadap kebaikan, keadilan, belas kasihan, kekudusan dan kasih Allah. Hidup seseorang Kristen yang sejati akan secara terus-menerus ditandai oleh kekaguman dan hormat kepada Allah. Ketiga, integritas diri. Hal ini menyangkut kekonsistenan antara apa yang kita percaya dengan apa yang kita tunjukkan dengan gaya hidup kita. Seorang kristen yang sejati akan membenci kemunafikan dan mencintai kejujuran. Keempat, perubahan sifat yang progresif serupa dengan Kristus. Kelima, kehausan akan Allah. Ini merupakan keinginan yang tidak puas-puas untuk mengenal Dia lebih baik dan penolakan terhadap status quo agama.

Pemberantasan korupsi merupakan tanggung jawab sosial kita. Karena korupsi bukan hanya sekedar penyelewengan, penggelapan uang, suap tetapi juga faktor utama terjadinya kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan kebodohan. John Stott dalam buku Isu-isu Global (3), menegaskan bahwa kita tidak boleh lari dari tanggung jawab sosial kita; dengan telinga yang terbuka lebar kita harus menyimak kepada suara Dia, yang memanggil umatNya dari setiap usia untuk pergi ke dalam dunia yang sesat dan kesepian, dengan tujuan hidup didalamnya dan mengasihi, untuk bersaksi dan melayani, seperti Dia dan bagi Dia. Itulah yang disebut misi. Misi adalah keseluruhan gaya hidup kristiani kita, termasuk tanggung jawab pemberitaan Injil maupun tanggung jawab sosial, dengan didasari oleh keyakinan bahwa Kristus mengutus kita ke dalam dunia sebagaimana Sang Bapa telah mengutus Dia ke dalam dunia, dan bahwa karena itu kita harus pergi ke dalam dunia untuk hidup dan bekerja bagi Dia.

Di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang menuju jurang kehancuran akibat korupsi. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Mahaesa telah diubah menjadi Keuangan yang Mahakuasa. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme telah menjadi three in one yang membelit masyarakat dan menyebabkan kemiskinan, ketidakadilan, dan kebodohan. Maka, tanggung jawab sosial gereja dan umat Kristen untuk menciptakan masyarakat yang anti korupsi, adalah tugas yang sangat urgent.

Orang Kristen di Indonesia, dituntut untuk memberikan teladan kehidupan keagamaan yang holistik dan hidup (living religion). Keteladan adalah hal yang mutlak, tanpa keteladanan dari para pemimpin persekutuan, pemimpin kelompok kecil, pemimpin gereja maka akan hanya tercetak keagamaan umat yang formalistik. Persekutuan Mahasiswa Kristen, haruslah menjadi pelopor untuk mencetak pribadi-pribadi yang berintegritas, pertama-tama dalam kehidupan sosial kampus, dan selanjutnya diutus di tengah masyarakat.

Penutup

Sungguh menarik melihat data indeks korupsi negara-negara di dunia. Negara-negara mayoritas berpenduduk muslim, seperti Indonesia, Pakistan, Banglades, dan Nigeria memiliki indeks korupsi yang tinggi. Begitu pula negara-negara mayoritas berpenduduk kristen seperti Filipina, Argentina, Meksiko, dan Kolumbia. Bahkan, Thailand yang mayoritas penduduknya Budda,indeks korupsinya juga hampir mencapai delapan. Rusia negara (mantan) komunis indeks kopupsi juga tinggi. Atau tidak usah jauh-jauh, bukankah Sulawesi Utara dan Sumatera Barat adalah termasuk daftar urutan atas korupsi di Indonesia ?. Dan departemen yang terkenal korup adalah departemen agama ?.

Sementara ada negara lain, yang juga mayoritas beragama Islam seperti Iran, Arab Saudi, Syria atau Malaysia dengan angka korupsi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia dan Pakistan. Juga ada negara mayoritas Kristiani seperti Amerika, Kanada, Singapura, atau Inggris dengan indeks korupsi dibawah dua. Cina yang komunis beberapa tahun terakhir ini telah berhasil mengurangi angka korupsi dengan baik.

Gambaran kasar ini memberikan indikasi, tinggi atau rendahnya korupsi tidak berkait dengan jumlah kuantitatif penganut agama, tetapi juga berkait dengan tatanan hukum yang jelas dan tegas yang diiringi penegakan hukum berat terhadap koruptor. Peningkatan kualitas keagamaan seseorang adalah faktor kunci pemberantasan korupsi bersama dengan peningkatan sistem hukum yang baik.

Daniel Adipranata (2007)