Rabu, 07 Januari 2009

AGAMA IYA, KORUPSI JUGA IYA


Apakah ada relasi antara agama dan korupsi ? Keagamaan seperti apa yang dibutuhkan untuk memberantas korupsi ?

Agama iya, korupsi juga iya, itulah gambaran bangsa Indonesia. Indonesia merupakan negara paling korup keenam dari 133 negara yang dinilai Transparency International Indonesia (TII). TII mendapatkan peringkat tersebut berdasarkan nilai Indeks Persepsi Korupsi Transparency International 2003 yang dihasilkan dari 13 survey independent oleh lembaga survey internasional. Di Asia, hanya Banglades dan Myanmar yang lebih korup dibandingkan dengan Indonesia. Adapun di tingkat dunia, negara-negara yang IPK-nya lebih buruk dari Indonesia hanya negara yang kondisinya pun sedang konflik, antara lain Angola, Azerbaijan, Tajkistan dan Haiti. (Emmy Hafid, sekjen TII (Kompas, 7/10/2003) ).

Fakta tingkat korupsi yang begitu tinggi inilah yang sangat menyedihkan kita bersama. Karena di sisi yang lain kehidupan keagamaan di Indonesia justru mengalami kebangkitan. Pesantren, sekolah teologia didirikan dimana-mana, parta-partai yang berbasiskan agama menjamur, tablig akbar dihadiri ratusan ribu umat, rumah-rumah ibadah yang besar dan mewah, Kebaktian Kebangunan Rohani ada dimana-mana, jumlah jemaat gereja dan komunitas Kristen bertambah, dan program-program agama di televisi semakin banyak . Kegiatan agama menjadi menu sehari-hari rakyat Indonesia, dan tidak ada seorangpun yang mengaku tidak beragama. . Akan tetapi korupsi semakin juga marak.. Korupsi bukan hanya di tingkat pusat, tetapi justru menggurita sampai ke tingkatan yang paling bawah dalam masyarakat. Indeks korupsi kita semakin buruk secara international. Dari sekitar tujuh di tahun 1992, menjadi hampir sembilan di tahun 2000.

Menjadi pertanyaan kita bersama, apakah ada keterkaitan agama dan korupsi ? Apakah agama akan mengurangi korupsi ? Mengapa seolah-olah agama tidak mampu mendorong sikap anti korupsi pada umatnya ?

Keberagamaan Formalistik vs Keberagamaan Sejati

Pada dasarnya semua agama mengajarkan dan mendorong kehidupan moral yang anti korupsi. Semangat untuk tidak mementingkan diri sendiri, dan mengedepankan kepentingan orang lain, menjadi semangat keagaaman yang universal. Setiap agama mengajarkan umatnya untuk berbuat adil dan benar kepada sesama. Gaya hidup hedonis menjadi gaya hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai agama apapun.

Namun, dari perpektif kehidupan dan pengalaman agama sendiri, ada hal-hal yang perlu dikoreksi. Sudah sangat sering kita mendengar kritik tentang kehidupan dan penerapan keagamaan masyarakat Indonesia yang lebih berorientasi pada formalisme dan simbolisme keagamaan daripada substansi. Agama yang diterapkan secara formalistik adalah agama yang tidak membawa perubahan perilaku dan sikap hidup pada umatnya. Seseorang dapat rajin menjalankan ibadah, memberikan persembahan, aktif melayani, namun disisi lain perilaku sosialnya menyimpang. Mereka tetap menjadi orang yang korup, bengis kepada sesama, tidak adil, dan bergaya hidup hedonis. Seolah-olah agama adalah urusan dia pribadi dengan Tuhan, urusan di hari Minggu namun hari Senin-Sabtu pada waktu dia bekerja adalah urusan bisnis. Terjadi pemisahan antara sikap dan tingkah laku di gereja dengan tingkah laku di kantor, di jalan raya, di rumah dan sebagainya. Sikap dan pemahaman yang terpisah antara kesalehan individu dan kesalehan sosial inilah yang menjadi akar terjadinya ketidakselarasan antara aktifitas keagamaan seseorang dengan aktifitas sehari-hari seseorang. Antara pengetahuan agamanya dengan etika dan moralitasnya. Karena itu, sikap keberagamaan yang terpecah (split) dan mendua ini harus dikoreksi, dan diperlukan keberagamaan yang seutuhnya (sejati).

Dalam salah satu karya yang terbesar Jonathan Edwards di bidang religius dan psikologis di Amerika, Religius Affections (1746), disebutkan bahwa ada empat tanda (yang tidak dapat dipercaya) dari keberagamaan yang semu atau palsu. Pertama, perasaan religius yang kuat, misalnya perasaan gembira sekali . Perasaan itu dapat membuat kita mengalami kehangatan batin, tetapi belum tentu berarti bahwa seorang menjadi pengikut Kristus sejati. Bahkan orang-orang yang berseru “Hosana” pada Minggu Palem sangat gembira menyambut Yesus tetapi beberapa hari kemudian menyangkali Yesus. Kedua, berbicara lancar dan sering mengenai agama.atau Allah, juga belum menjadi jaminan. Orang yang memiliki pengetahuan agama, belum tentu pengetahuan itu menjadi hidup keimanannya yang sesungguhnya. Ketiga, penampilan yang baik, kasih, dan rendah hati dapat menipu kita. Edwards menyatakan sikap ini banyak dan mudah ditiru demi ambisi atau kepentingan pribadi seseorang. Keempat, pengabdian yang bersemangat dan makan waktu kepada kegiatan-kegiatan agama juga dapat disebabkan oleh berbagai kepentingan pribadi atau kepuasan psikoligis seseorang. Pengabdian luar kepada Allah belum menjadi jaminan dari kerohanian batin. Orang kudus sejati dan orang munafik ... mungkin penampilan luarnya sama.

Sebaliknya, ada beberapa tanda kerohanian (keberagamaan) yang sejati yang seharusnya tampak pada seorang Kristen yang sejati. Pertama, tertarik kepada Allah dan jalan-jalannya semata-mata, bukan karena alasan lain. Namun dari hasil pengenalannya akan Allah, dimotivasikan oleh kerinduan untuk menyenangkan Dia dan mengasihi Dia. Kedua, Melihat keindahan dalam kekudusan Allah . Ini tanda yang paling khas dari kerohanian Kristen sejati. Kerohanian ini meliputi penghargaan yang makin dalam terhadap kebaikan, keadilan, belas kasihan, kekudusan dan kasih Allah. Hidup seseorang Kristen yang sejati akan secara terus-menerus ditandai oleh kekaguman dan hormat kepada Allah. Ketiga, integritas diri. Hal ini menyangkut kekonsistenan antara apa yang kita percaya dengan apa yang kita tunjukkan dengan gaya hidup kita. Seorang kristen yang sejati akan membenci kemunafikan dan mencintai kejujuran. Keempat, perubahan sifat yang progresif serupa dengan Kristus. Kelima, kehausan akan Allah. Ini merupakan keinginan yang tidak puas-puas untuk mengenal Dia lebih baik dan penolakan terhadap status quo agama.

Pemberantasan korupsi merupakan tanggung jawab sosial kita. Karena korupsi bukan hanya sekedar penyelewengan, penggelapan uang, suap tetapi juga faktor utama terjadinya kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan kebodohan. John Stott dalam buku Isu-isu Global (3), menegaskan bahwa kita tidak boleh lari dari tanggung jawab sosial kita; dengan telinga yang terbuka lebar kita harus menyimak kepada suara Dia, yang memanggil umatNya dari setiap usia untuk pergi ke dalam dunia yang sesat dan kesepian, dengan tujuan hidup didalamnya dan mengasihi, untuk bersaksi dan melayani, seperti Dia dan bagi Dia. Itulah yang disebut misi. Misi adalah keseluruhan gaya hidup kristiani kita, termasuk tanggung jawab pemberitaan Injil maupun tanggung jawab sosial, dengan didasari oleh keyakinan bahwa Kristus mengutus kita ke dalam dunia sebagaimana Sang Bapa telah mengutus Dia ke dalam dunia, dan bahwa karena itu kita harus pergi ke dalam dunia untuk hidup dan bekerja bagi Dia.

Di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang menuju jurang kehancuran akibat korupsi. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Mahaesa telah diubah menjadi Keuangan yang Mahakuasa. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme telah menjadi three in one yang membelit masyarakat dan menyebabkan kemiskinan, ketidakadilan, dan kebodohan. Maka, tanggung jawab sosial gereja dan umat Kristen untuk menciptakan masyarakat yang anti korupsi, adalah tugas yang sangat urgent.

Orang Kristen di Indonesia, dituntut untuk memberikan teladan kehidupan keagamaan yang holistik dan hidup (living religion). Keteladan adalah hal yang mutlak, tanpa keteladanan dari para pemimpin persekutuan, pemimpin kelompok kecil, pemimpin gereja maka akan hanya tercetak keagamaan umat yang formalistik. Persekutuan Mahasiswa Kristen, haruslah menjadi pelopor untuk mencetak pribadi-pribadi yang berintegritas, pertama-tama dalam kehidupan sosial kampus, dan selanjutnya diutus di tengah masyarakat.

Penutup

Sungguh menarik melihat data indeks korupsi negara-negara di dunia. Negara-negara mayoritas berpenduduk muslim, seperti Indonesia, Pakistan, Banglades, dan Nigeria memiliki indeks korupsi yang tinggi. Begitu pula negara-negara mayoritas berpenduduk kristen seperti Filipina, Argentina, Meksiko, dan Kolumbia. Bahkan, Thailand yang mayoritas penduduknya Budda,indeks korupsinya juga hampir mencapai delapan. Rusia negara (mantan) komunis indeks kopupsi juga tinggi. Atau tidak usah jauh-jauh, bukankah Sulawesi Utara dan Sumatera Barat adalah termasuk daftar urutan atas korupsi di Indonesia ?. Dan departemen yang terkenal korup adalah departemen agama ?.

Sementara ada negara lain, yang juga mayoritas beragama Islam seperti Iran, Arab Saudi, Syria atau Malaysia dengan angka korupsi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia dan Pakistan. Juga ada negara mayoritas Kristiani seperti Amerika, Kanada, Singapura, atau Inggris dengan indeks korupsi dibawah dua. Cina yang komunis beberapa tahun terakhir ini telah berhasil mengurangi angka korupsi dengan baik.

Gambaran kasar ini memberikan indikasi, tinggi atau rendahnya korupsi tidak berkait dengan jumlah kuantitatif penganut agama, tetapi juga berkait dengan tatanan hukum yang jelas dan tegas yang diiringi penegakan hukum berat terhadap koruptor. Peningkatan kualitas keagamaan seseorang adalah faktor kunci pemberantasan korupsi bersama dengan peningkatan sistem hukum yang baik.

Daniel Adipranata (2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar