Selasa, 26 Mei 2009

Manusia dan Kematian menurut Heidegger


Daniel Adipranata

Pandangan Heidegger tentang kematian adalah menarik. Pandangannya mengkaitkan antara kematian dan kehidupan. Kematian adalah hal penting untuk kehidupan, dan merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu sendiri Manusia adalah ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Artinya, karena menyongsong sejak awal sampai akhir, kematian juga merentang dalam keseharian kita.

Menurut Heidegger, satu-satunya Being atau ‘Ada’ adalah manusia. Dengan mempertanyakan kembali ‘Ada’ kita dalam kehidupan, maka kita tidak sekedar menjalankan hidup. Tidak seperti ‘Ada’ dari orangutan atau mobil yang tergeletak di garasi, yang tidak pernah mempertanyakan ‘ada’-nya. Orangutan ada begitu saja dan mungkin tidak pernah mengambil jarak terhadap ‘Ada’-nya, maka dia tidak pernah menanyakan ‘Ada’-nya. Yang bisa melakukan itu adalah Dasein.

Dasein adalah kata Jerman yang berarti ‘Ada-di-sana’. Ada di mana? ‘Di-sana’ !. di dalam dunia begitu saja, tanpa tahu dari mana dan mau ke mana. Itulah yang disebut faktisitas (Faktizität), yaitu kenyataan bahwa kita ada di dunia ini bersifat niscaya. Kita tak pernah ditanya lebih dahulu mau atau tidak hidup di dunia ini. Kita ‘ada-begitu-saja’, kita ‘di-sana’, di dalam dunia. Heidegger menyebut ini sebagai ‘keterlemparan’ (Geworfenheit). Dasein terlempar ke dunia ini.

Kita ‘ada-begitu-saja’, terlempar. Yang membedakan Dasein dari mengada-mengada lain, adalah bahwa Dasein menyadari keterlemparan ini, lalu berupaya memahaminya. Keterlemparan ini, juga terjadi ketika menghadapi kematian. Ketika, kita tak pernah ‘menjadwalkan’ kapan kita lahir, maka kitapun tak pernah mengetahui kapan kita mati. Namun kebermaknaan hidup justru diperoleh di situ. Dalam ketidakpastian masa depan. Dengan ketidakpastian orang masih memiliki harapan. Harapan berarti terbukanya kemungkinan. Adanya kemungkinan membuat orang termotivasi untuk hidup. Di situlah orang dapat menatap ke depan dan terus memperbaiki diri sepanjang hidupnya. Kita terus meng-‘ada’ sepanjang kita hidup. Dasein memiliki peluang untuk terus memaknakan perjalanan kehidupan menuju kematian yang tidak dapat dipastikan kedatangannya.

Kematian adalah hal penting untuk kehidupan, dan merenungkan kematian tak lain daripada merenungkan kehidupan itu sendiri. Kematian adalah hal arkais dalam diri manusia, suatu fundamen dan totalitas terhadap ‘Ada’-nya di dunia ini, yang mencakup rentang sejak keterlemparan sampai kematiannya. Dasein menemukan otentisitasnya jika membuka diri terhadap ‘Ada’-nya dengan menghadapi kemungkinan kematiannya secara mendalam. Dasein menjadi inotentik ketika membiarkan dirinya larut dalam arus keseharian.

‘Ada’ manusia adalah suatu palung tanpa dasar, suatu Nicht (ketiadaan). Maksudnya, ‘Ada’ manusia secara dasariah adalah ‘ketiadaan-diri-sendiri’ (eine Nichtigkeit seiner Selbst). Keterlemparan dasein itulah yang menunjukkan bahwa ‘Ada’ Dasein adalah suatu ketiadaan, karena Dasein tak berasal dari suatu yang diketahui dan menuju ke tujuan yang tak satupun ditetapkan sebelumnya.

Tetapi, ketidaktahuan atau ketiadaan kepastian itulah yang menentukan ‘Ada’-nya, maka lompatan ke dalam hal tersebut menimbulkan kecemasan. Suatu kecemasan yang dapat menjadi mediasi untuk kontak dengan ‘Ada’ yang menjadi sumber nilai-nilai, karena dalam kecemasan itu Dasein bergerak melalui lorong pemahaman akan pencapaian kemungkinan-kemungkinan.

Dasein mencapai totalitas ‘Ada’-nya dalam kematian (Tod). Kematian adalah zenit totalitas ‘Ada’ dasein, tetapi persis pada titik itu pula Dasein kehilangan ‘Ada’-nya—suatu nadir ontologis, karena Dasein berhenti sebagai Ada-di-dalam-dunia. Namun ada suatu ruang terhormat bagi dasein yang terhenti itu. Manusia yang mati ‘lebih’ daripada seonggok daging, dan menjadi almarhum yang bermartabat. Kontak dengan ‘Ada’nya tidak berhenti. Bukan keabadian jiwa dalam pemahaman agama yang diacu di sini, melainkan pengalaman akan dunia-bersama yang masih membekas pada mereka yang ditinggalkan. Hubungan dengan yang mati seolah masih ‘bermukim’ di dalam dunia-bersama itu, sehingga yang mati ‘lebih’ daripada sekedar jenasah. Ciri ‘lebih’ itu, katakanlah semacam sedimentasi memori hasil kebiasaan kontak makna dengannya selama ini.

Tak seorang pun dapat menjemput kematian untuk orang lain. Meski orang bisa mati demi ideologi tertentu seperti teroris yang melakukan bom bunuh diri sekte yang percaya bahwa di satu waktu dan tempat tertentu mereka akan bersama-sama naik ke surga; tetapi kematian adalah tetap kematian bagi dirinya sendiri, bukan mewakili kematian orang lain. Maka itu, kematian adalah momen paling otentik dan eksistensial bagi dasein.

Akhir yang dimaksud dengan kematian, bukanlah berakhirnya dasein, melainkan suatu Ada-menuju-akhir. Dengan kata lain, akhir itu sudah ada sejak permulaan. Kematian sudah menyongsong Dasein sejak keterlemparannya. Manusia adalah ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Artinya, karena menyongsong sejak awal sampai akhir, kematian juga merentang dalam keseharian kita. Kematian selalu, dan tidak sekali saja, menghampiri dasein. Begitu juga dengan kelahiran. Keduanya adalah hal yang eksis dalam kehidupan manusia.

Ada suatu cara sederhana untuk melihat kerangka pendekatan Heidegger dalam memahami kematian: Ketika kematian bukan sesuatu yang bisa menjadi bagian dari pengalaman (melalui perjalanan hidup), tidak akan pernah ada yang bisa kita bicarakan mengenai kematian itu sendiri. Apa yang penting bukan kematian (death) itu sendiri tetapi perjalanan menuju kematian (dying), karena esensi dari keberadaan hidup manusia adalah perjalanan menuju kematian.

Kematian bukan [hanya] dalam pengertian sempit mengenai kematian fisik, melainkan kemungkinan untuk mati. Manusia pasti mati, tetapi tak tahu kapan dan bagaimana. Kecemasan akan kematian eksis dan suatu ketika menyembul dari arus keseharian. Kecemasan itu adalah kecemasan akan kemungkinannya sendiri. Namun sekali lagi, meski menyembul keluar, kematian tetap berada dalam genangan arus keseharian. Di sini akan muncul dua macam sikap terhadap kematian : sikap manusia yang inotentik, cenderung menenang-nenangkan diri dengan anggapan bahwa kematian pasti menimpa setiap orang; dan sikap dasein yang otentik membuka diri terhadap kemungkinan paling mungkin dari dirinya, yaitu kematiannya.

Manusia otentik sudah terbiasa dengan cemas dan kesendiriannya. Artinya, dalam keseharian pun ia tetap bening dengan diri. Antisipasi adalah ciri manusia atau Dasein karena ia adalah ketersingkapan itu sendiri. Karena menyingkapkan dirinya sendiri, dia terbuka terhadap sesuatu yang ada di depan. Dia selalu menyongsong ke depan, mendahului diri, dalam arti manusia itu selalu merupakan gerak, gerak menjadi (Werden), yaitu tidak pernah selesai untuk berkembang. Selalu berkembang sampai mati.

Suatu kesadaran bahwa manusia itu hidup menuju kematian dan keberadaan di dunia hanya persinggahan sementara. Ini adalah bentuk antisipasi (Vorlaufen) atas kematian. Mereka menganggap kematian inheren dalam kehidupan, dan oleh karena itu tak guna ditakutkan. Mereka melihat kematian sebagai bagian eksistensi.

Bandingkan dengan fenomen yang mirip dengan itu, yaitu orang yang karena ajaran-ajaran tertentu tidak lagi takut mati, malah membuat dirinya cepat mati, seperti penganut sekte penunggu kiamat atau pelaku bom bunuh diri. Dalam perspektif Heideggerian, itu termasuk modus kehidupan yang tidak otentik (Das Man). Orang-orang ini, melihat kematian selalu di depan mata, kemudian mereka juga ikut membunuh bersama yang lain. Tidak lagi cemas dengan kematian, tetapi juga tidak pernah sampai taraf di mana harus menghargai hidup. Hanya nafsu survival saja. Membunuh atau dibunuh.

Heidegger menekankan bagaimana kita menghargai hidup yang historis, tidak destruktif bagi sesama manusia, lingkungan alam, lingkungan benda-benda sekitar. Semua adalah relasi kehidupan bersama sebagai meng-‘Ada’ di dunia, dan tugas Dasein-lah untuk merawat eksistensi dunianya. Bagi Dasein, kesadaran akan kematian pada akhirnya merupakan kesadaran akan makna kehidupan.

Bukan kematian yang menjadi esensi untuk kita cemaskan tetapi keotentikan kita dalam menghadapi kematian itu. Keotentikan yang bisa kita peroleh dari kesadaran akan keberadaan kita dan tidak membiarkan kita larut dalam arus keseharian. Larut dalam dogma-dogma serta janji yang kita sendiri tidak pernah tahu esensinya bagi penghargaan akan kehidupan, atau larut dalam usaha untuk bertahan hidup tanpa pernah memaknakan apa sebenarnya arti hidup bagi kita. Dengan menyadari keotentikan kita, maka sebenarnya kita tidak akan pernah takut mengalami kematian itu sendiri. Kematian kitapun bukan sekedar kematian tanpa makna bagi kehidupan yang kita tinggalkan.

Daniel Adipranata

2007@Jakarta

Selasa, 20 Januari 2009

Obama dan Impian Demokrasi



Oleh Victor Silaen

 Investor Daily, 17-18 Januari 2009

    Tanggal 20 Januari mendatang niscaya menjadi hari paling bersejarah dalam hidup Barack Obama, karena saat itu ia secara resmi dilantik menjadi Presiden ke-44 Amerika Serikat (AS). Bagi AS sendiri, saat itu juga niscaya menjadi hari bersejarah karena Obama akan tercatat sebagai presiden pertama yang berkulit hitam – bukan dari golongan dominant White Anglo Saxon Protestant (WASP). Tak heran jika terbetik kabar bahwa tak kurang dari 5.000 lembar tiket berharga sangat mahal, untuk dapat menyaksikan Parade Inagurasi Kepresidenan, sudah habis terjual.

 

    Dunia pun tak kurang antusiasnya memonitor apa yang bakal berlangsung pada 20 Januari nanti, dan apa yang akan dikatakan Obama dalam pidato pelantikannya nanti. Kita teringat pada pernyataan ilmuwan politik terkemuka AS, Samuel Huntington (1997): “Dunia tanpa dominasi AS akan menjadi sebuah dunia yang banyak diisi dengan kekacauan dan kesemrawutan serta akan lebih tidak demokratis dan tidak memiliki pertumbuhan ekonomi yang memuaskan dibandingkan dengan sebuah dunia di mana Amerika Serikat memiliki pengaruh yang kuat dari negara manapun dalam menyelesaikan masalah-masalah global.”

 

     Setuju atau tidak setuju dengan pernyataan itu, suka atau tidak suka dengan AS, yang jelas pengaruh AS di arena internasional memang amat besar. Salah satu penyebabnya, karena AS kerap disebut sebagai kampiun demokrasi. Bukan karena kesempurnaan demokrasi yang dijalankannya selama ini, melainkan karena AS tercatat sebagai negara pertama di dunia yang berbentuk republik dan negara pertama pula yang memisahkan relasi antara negara dan agama, pada 1776.

 

     Dikarenakan pemisahan hubungan negara-agama itu, apakah seiring waktu AS berkembang menjadi bangsa yang tidak religius? Tidak. Faktanya, sejak dulu hingga kini AS tetaplah bangsa yang meninggikan Tuhan dan berpedoman pada nilai-nilai agama di dalam kehidupannya. Buktinya, antara lain, di dalam mata uang mereka tertulis kata-kata “In God We Trust”, dan tetap begitu sampai sekarang sekalipun di sisi lain mereka juga cenderung kapitalistik. 

 

     “AS memang bangsa yang paradoks,” tulis Michael Kammen, pemenang Pulitzer Prize, dalam People of Paradox, An Inquiry Concerning The Origins of American Civilization (1972) yang ditulisnya. Kammen, dalam buku itu, dinilai mampu menyibak asal-muasal terbentuknya AS menja di bangsa yang memiliki sejumlah karakter nasional yang saling bertentangan satu sama lain, namun di aras praktis justru saling melengkapi secara mutualis. Dalam hal apa lagi paradoksal itu nampak selain religius-sekuler dan religius-kapitalistik? Jawabannya: dalam hal demokrasi. Di satu sisi AS sangat meninggikan nilai kebebasan, kesetaraan, dan kompetisi, namun di sisi lain AS juga melegitimasi perbudakan atas kaum Kulit Hitam (yang mulanya disebut Negro, namun kelak menjadi Afro-American). Bahkan selama kurun waktu yang cukup panjang, sebelum Perang Saudara (1861-1865) antara penduduk AS bagian Utara dan penduduk AS bagian Selatan berakhir, perbudakan atas Orang Kulit Hitam itu dilegalkan sebagai sebuah institusi.

 

     Begitulah, sebelum kebijakan negara terhadap perbudakan itu berubah, umumnya keluarga Orang Kulit Putih di AS adalah pemilik budak. Termasuk Abraham Lincoln, presiden ke-16 AS (1861-1865), yang dikenal sebagai pejuang demokrasi dan anti-perbudakan. Pasca-perang, perlahan-lahan kebijakan itu pun berubah. Orang Kulit Hitam dapat menjadi warga negara AS yang sah. Namun, pelbagai kebijakan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap Orang Hitam itu masih terus terjadi.

 

     Bagaimana menerangkan keadaan yang paradoks ini: di satu sisi demokratis, di sisi lain diskriminatif? Itulah yang disebut herrenvolk democracy atau “demokrasi tuan-hamba” (Washington dalam de Gruchy, 1995). Bangsa atau masyarakat dengan budaya demokrasi seperti ini niscaya selalu berupaya membuat batas-batas sosial politik antara kelompok yang dominan (kelas satu) dan kelompok-kelompok lain (kelas dua dan seterusnya) yang dipandang tidak setara dengan mereka. Negara pun, karena dikuasai oleh kelompok yang dominan itu, selalu terdorong untuk membuat pelbagai kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok-kelompok yang tidak dominan itu. Sedikit atau banyak, itu tergantung perkembangan situasi maupun tren politik yang menguat. Artinya, jika dulu banyak kebijakan yang diskriminatif, makin lama kebijakan yang diskriminatif itu pun makin berkurang. Jika awalnya hak yang diberikan kepada Orang Hitam itu hanyalah menjadi warga negara AS, makin lama makin banyaklah hak-hak sipil dan politik yang diberikan kepada mereka. Namun, dalam satu hal Orang Hitam itu tetap dikebiri haknya: menjadi Orang Nomor Satu di dalam pemerintahan. Artinya, dalam hal menjalankan pemerintahan AS, tetaplah ada satu golongan yang dominan dan tidak boleh tergantikan posisinya, yakni WASP (White Anglo Saxon Protestant). 

 

     Namun, Orang Hitam punya mimpi, sebagaimana semua orang AS diajarkan untuk bermimpi sejak kecil. Memang, bagi setiap orang AS, semua keberhasilan dimulai dari mimpi (disebut American dream). Maka, demi mewujudkan mimpi kesetaraan itu, Orang Hitam tak henti-hentinya berjuang. Melalui gerakan hak-hak sipil yang digulirkan, lagu tema perjuangan mereka yang berjudul “We Shall Overcome”, sejak 1960-an telah dinyanyikan banyak orang di seluruh dunia yang bersimpati pada perjuangan mereka.

 

     Di antara pejuang kesetaraan hak kaum Kulit Hitam itu terdapat Martin Luther King, Jr., Ph.D (1929-1968). Ia adalah salah seorang pemimpin terpenting dalam sejarah AS dan dalam sejarah non-kekerasan di zaman modern ini, yang dianggap sebagai pahlawan, pencipta perdamaian, dan martir oleh banyak orang di seluruh dunia.

     King Jr. adalah seorang pendeta Baptis di Montgomery, Alabama, yang gigih berjuang melawan diskriminasi rasial. Dalam seluruh aksinya, ia mengikuti prinsip-prinsip Mahatma Gandhi yang selalu berupaya menghindari kekerasan. Untuk beberapa tahun, ia membuat kesuksesan besar, tetapi secara berangsur-angsur generasi muda Kulit Hitam menjauhinya karena tidak menyetujui prinsip antikekerasan yang diusungnya. Sebaliknya, King Jr. tidak pernah berhenti dan menyebarluaskan programnya. Ia tak hanya berjuang melawan diskriminasi kaum Kulit Hitam di AS, tetapi juga menentang Perang Vietnam.

 

     Kebesaran King Jr. terutama terletak pada mimpinya yang besar, yang dicetuskannya dalam pidatonya yang berjudul “I have a Dream” dalam parade berbarisnya ke Washington DC (28 Agustus 1963). Itulah yang membuatnya makin terkenal dan mendapatkan banyak gelar terhormat. Pada 1963, ia menerima Penghargaan Perdamaian Nobel. Namun, ia kemudian meninggal karena ditembak ketika melakukan aksi di Memphis pada 4 April 1968. Guncangan dari kematiannya menyebabkan banyak kerusuhan dan bentrokan di berbagai kota di seluruh AS waktu itu.

 

     Beberapa kalimat dalam pidato King Jr. yang kiranya patut disimak adalah sebagai berikut: “I have a dream that my four children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character.”   Sekarang, mimpi pendeta Kulit Hitam itu, untuk suatu saat kaum kulit berwarna dapat berdiri setara dengan kaum Kulit Putih yang selama ini dominan di AS telah menjadi kenyataan. Barrack Hussein Obama, yang berkulit hitam itu, telah menjadi presiden ke-44 AS.

 

     Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan adalah: bukankah hal yang “wajar” jika Orang Kulit Putih di AS yang dominan itu merekayasa pemilihan presiden 4 November lalu demi menghadang kemenangan Obama yang bukan bagian dari WASP-group itu? Namun, fakta bicara: demokrasi AS ternyata sudah semakin maju. Terbukti, pelbagai negative dan black campaign terhadap Obama pun tak membuat sebagian besar pemilih berpaling dari kandidat presiden keturunan Kenya, Afrika, itu.

 

    Demam Obama kini melanda dunia, termasuk Indonesia. Bagi kita, ada beberapa pesan yang dapat diambil demi memajukan demokrasi pasca-Soeharto ini. Pertama, sudah saatnya kita juga mengusangkan sistem dan budaya demokrasi berlandaskan apa yang kerap disebut asas proporsionalitas. Sebagai gantinya, meritokrasi harus dikedepankan. Kedua, inilah saatnya meninggalkan sentimen-sentimen primordialistik dalam praktik demokrasi. Jawa dan non-Jawa, Islam dan non-Islam, dan lainnya, mestinya tidak dijadikan acuan lagi dalam mempraktikkan demokrasi. Apalagi Indonesia adalah bangsa yang pluralistik, yang telah menjadikan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai semboyannya sejak dulu.

 

* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol (www.victorsilaen.com)  

Rabu, 07 Januari 2009

Rekonstruksi Makna Natal


Pikiran Rakyat, 24 Desember 2008

Bagi umat Nasrani, Natal berarti merayakan kelahiran Yesus Kristus di bumi. Kelahiran-Nya menumbuhkan harapan untuk pemulihan hubungan umat manusia dengan Tuhan yang rusak akibat kejahatan dan dosa. Ajaran dan tindakan-Nya mereformasi pola pikir, nilai moral, tatanan sosial, dan pengalaman spiritual. Dengan demikian, hubungan umat manusia dengan Tuhan tidak lagi merupakan pengetahuan supernatural (transendental) dan ritual, tetapi sekaligus merupakan pengalaman unik bagi umat (imanen).

Dalam perspektif pragmatisme, makna dinyatakan dengan pemolaan atas interaksi sosial yang terjadi berulang kali sebagai produk dari sistem sosial secara keseluruhan (Aubrey Fisher, Perspectives on Human Communication; 1978). Perwujudan interaksi sosial ini muncul dalam pola perilaku yang merupakan cerminan perasaan emosi, kepribadian, dan sikap yang diinternalisasikan. Maka, makna Natal dinyatakan melalui perilaku-perilaku umat yang saling berinteraksi dalam tradisi Nasrani dan sistem sosial.

Perulangan interaksi sosial yang dinamis itu memunculkan stereotip mengenai keragaman makna. Saat ini, Natal hampir tak terpisahkan dengan sukacita perayaan di berbagai tempat, menghias pohon cemara, lilin, hadiah, nuansa liburan, sampai diskon produk barang dan jasa. Pemaknaan simbol dan ikon Natal ini mendistorsi makna asali Natal, tetapi sekaligus mengaktualkan makna Natal.

Rekonstruksi Makna

Pada hakikatnya, makna dalam komunikasi merupakan fenomena sosial. Makna selalu mencakup banyak aspek pemahaman (kerangka acuan, simbol, sifat sosial, dll) yang dimiliki oleh para komunikator. Di samping itu, pengertian makna bergantung pada perspektif yang digunakan untuk mengkaji proses komunikatif. Jawaban yang cukup memadai bagi satu perspektif belum tentu sesuai bagi perspektif lain. Dengan demikian jawaban "benar" atau "yang terbaik" menjadi tidak relevan asalkan pengkajian dilakukan secara konsisten dan bertanggung jawab.

Dalam hal ini, para pendeta, uskup, dan jajaran penatalayan gereja diberikan mandat penting sebagai pembentuk opini (opinion leader). Mereka memerlukan disiplin penafsiran yang baik atas teks kitab suci untuk mencerdaskan umat. Pencerahan ini seharusnya menolong umat untuk menemukan relevansi penafsiran teks kitab suci dengan kehidupan nyata umat.

Relevansi tersebut tercermin dalam interaksi sosial sehari-hari. Gereja perlu mendorong dan menolong umat untuk mengejawantahkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai kebaikan yang berakar akan menjadi bahasa bersama untuk membangun dan memperbaiki moralitas bangsa.

Harapan

Dalam kehidupan sosial, perjuangan gereja untuk menyuarakan perbaikan moral harus terus dikumandangkan. Perbaikan moral dilakukan dalam segala bidang, termasuk institusi gereja. Gereja seharusnya tidak mementingkan kepentingan pribadi, golongan, atau terlibat dalam politik praktis. Perebutan jabatan atau kekuasaan dalam gereja justru meresahkan masyarakat dan melemahkan kepercayaan umat.

Melalui kenyataan ini, umat perlu terlibat aktif dalam pembenahan gereja sebagai institusi. Pembenahan ini menumbuhkan harapan untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang lebih baik. Tatanan masyarakat yang realistis. Tidak hanya berada pada alam konseptual dan naif.

Harapan ini perlu diperjuangkan dan diwujudkan secara bersama-sama dengan pemerintah, antarlembaga, lintas agama, dan masyarakat. Tantangan konflik horizontal karena SARA, iklim politik menjelang pemilu 2009, krisis ekonomi global yang memengaruhi stabilitas ekonomi dalam negeri, kemiskinan, hukum yang kehilangan keadilannya, bencana alam, dan rusaknya moralitas bangsa karena korupsi dan kebohongan menjadi agenda kusut yang harus dihadapi bersama. Namun, perjuangan dan harapan itu tidak akan sia-sia karena dibangun di atas semangat yang sama.

Sama halnya ketika umat Nasrani menantikan kelahiran Yesus Kristus untuk memulihkan hubungan umat dengan Tuhan, harapan untuk membenahi kondisi bangsa ini akan terus hidup. Semangat dan harapan Natal menjadi bahasa universal yang dapat dimaknai oleh siapa pun untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih baik. Selamat memaknai Natal! 

Oleh Yulius Tandyanto (Penulis, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Associate Staf Persekutuan Kristen Antar Universitas (Perkantas) cabang  )